## Ulasan Film “Tak Ingin Usai di Sini”: Adaptasi Korea yang Kurang Memuaskan?
Pertama kali melihat cuplikan film “Tak Ingin Usai di Sini” di beranda Instagram, saya mengira ini adalah serial Netflix atau platform streaming serupa. Betapa terkejutnya saya saat mengetahui ini adalah film layar lebar terbaru yang dibintangi Bryan Domani dan Vanessa Prescilla, tayang di bioskop-bioskop seluruh Indonesia mulai 5 Juni 2025. Sebagai penggemar berat Bryan Domani, tentu saja saya penasaran. Film ini merupakan adaptasi dari film Korea berjudul “More Than Blue” (2005), sebuah film dengan skenario yang ditulis oleh Won Tae-yeon. Banyak ulasan di Instagram menyebutnya sebagai adaptasi yang sukses, sehingga rasa penasaran saya semakin membuncah. Kebetulan, sehari setelah melihat ulasan tersebut, adalah hari ulang tahun saya. Jadi, saya pun memutuskan untuk memberikan hadiah untuk diri sendiri dengan menonton film ini di bioskop – sebuah pengalaman yang sudah hampir enam bulan saya rindukan (sebelumnya, saya ingin menonton “Jumbo”, namun waktu dan dana terbatas menghalangi).
Impresi awal saya? Sinopsisnya sangat *mainstream*. Film ini menceritakan kisah Kawidra (dipanggil K) dan Clarissa (Cream), dua remaja SMA yang sama-sama kehilangan orang tua dan hidup saling bergantung satu sama lain, meskipun bukan saudara kandung. Mereka tinggal serumah hingga lulus SMA, kuliah, dan bahkan bekerja. Keahlian mereka di bidang musik saling melengkapi: K mahir bermain gitar dan menciptakan komposisi lagu, sementara Cream berbakat menulis lirik. K bekerja di stasiun radio, sedangkan Cream menjadi penulis lirik di sebuah label musik. Keduanya menyimpan perasaan satu sama lain, namun tak berani mengungkapkan.
Konflik muncul ketika K didiagnosis mengidap kanker akibat faktor genetik (ayahnya meninggal karena penyakit yang sama). Diagnosis tersebut membuat K menyembunyikan penyakitnya dari Cream dan malah menyarankan Cream untuk mencari pasangan hidup agar ada yang menemaninya setelah K tiada, karena dokter memperkirakan ia hanya memiliki waktu satu tahun lagi untuk hidup.
Plot seperti ini memang sudah sering diangkat, mengingat film ini diadaptasi dari film lawas tahun 2005. Di era tersebut, tema seperti ini mungkin masih tergolong segar, namun di tahun 2025, cerita ini terasa sedikit “basi”, meskipun tetap menimbulkan efek nostalgia. Salah satu hal yang menarik adalah latar film yang diadaptasi menjadi kota metropolitan Jakarta. Namun, setting mereka tinggal serumah sebagai dua orang bukan saudara kandung terasa sedikit janggal dalam konteks masyarakat Indonesia. Tinggal serumah di perumahan terasa tidak realistis, mungkin akan lebih masuk akal jika mereka tinggal di apartemen yang berdekatan atau rumah yang bersebelahan sehingga tetap bisa saling membantu dan bertemu setiap hari.
Saya juga kurang menyukai pembukaan film yang dimulai dengan *flashback* setelah tokoh utama meninggal. Saya lebih menyukai pendekatan yang sedikit memberikan harapan, meskipun endingnya mungkin pahit. Berbeda dengan “Seasons of Blossom”, yang sejak awal sudah memberi tahu penonton bahwa tokoh utamanya meninggal karena bunuh diri, “Tak Ingin Usai di Sini” justru membuka cerita dengan K yang sudah meninggal, Cream yang entah berada di mana, dan kaset demo lagu mereka yang kemudian direkam ulang oleh Rossa. Pembukaan seperti ini langsung menghilangkan rasa penasaran dan harapan. Penyakit yang diderita K (kanker) juga terlampau *mainstream* dan sudah terungkap di awal cerita. Andai penyakitnya adalah penyakit menular langka atau penyakit yang belum teridentifikasi oleh dunia kedokteran, nilai penasaran penonton tentu akan jauh lebih tinggi.
Karena semua sudah terungkap sejak awal, satu-satunya hal yang menarik perhatian adalah “proses Cream mencari pengganti K”. Siapa penggantinya? Armand (diperankan Rayn Wijaya), seorang dokter gigi yang ia temui saat reuni sekolah. Perilaku Cream yang agresif mendekati Armand, langsung menyatakan cinta, dan terus memberitahu K tentang perkembangan hubungannya dengan Armand menimbulkan kecurigaan. Saya, sebagai penonton, sudah menduga bahwa Cream tidak benar-benar mencintai Armand, melainkan sebagai pelampiasan kesedihan atau bahkan bagian dari rencananya. Dan benar saja, hal tersebut terbukti di akhir cerita. Secara pribadi, saya lebih menyukai alur cerita di mana tokoh utama saling terbuka dan memperjuangkan hubungan mereka meskipun dihadapkan pada penyakit yang mematikan. Namun, saya memahami bahwa ini adalah adaptasi, sehingga alur ceritanya mengikuti versi aslinya dari Korea.
Ending film juga kurang memuaskan, bahkan membingungkan. Nama Clarissa tertulis di nisan di sebelah Kawidra. Apakah Clarissa sudah meninggal? Ataukah ia pindah ke tempat yang jauh dan berganti nama agar orang mengira ia sudah meninggal? Adegan seharusnya berhenti di sana, namun adegan selanjutnya justru merusak imajinasi penonton.
Chemistry antara Bryan Domani dan Vanessa Prescilla juga kurang terasa bagi saya. Saya merasa Bryan lebih cocok beradu akting dengan Yasmin Napper (di film “172 Days”) atau Nadya Arina (di “Pantaskah Kau Berhijab”). Bukan berarti akting Bryan buruk, namun auranya kurang menyatu dengan Vanessa.
Secara keseluruhan, film “Tak Ingin Usai di Sini” kurang memuaskan bagi saya. Saya tidak bisa menilai keberhasilan adaptasinya karena belum menonton versi Korea. Jika dilihat secara terpisah, film ini terasa terlalu sederhana untuk ditayangkan di bioskop. Bahkan, teman saya berkomentar tentang detail yang mengganggu, yaitu sajian makanan di film yang selalu mi: mi ayam, bakmi, spageti, mi goreng. Teman saya bercanda, “Pantes aja kanker, makan mi terus dari SMA!” hahaha.
Walaupun begitu, ada beberapa adegan yang mampu membuat saya meneteskan air mata, seperti adegan foto prewedding K dan Cream, dan adegan menjelang kematian K. Membayangkan apa yang dialami Cream sangat menyedihkan, namun saya tidak bisa membenarkan tindakannya karena hal itu juga menyakiti Armand dan pasangannya. *Flashback* di akhir film juga menjadi nilai plus. Penasaran? Tonton saja filmnya, nanti juga akan muncul di platform streaming! Film ini cocok ditonton saat santai dan ingin menyaksikan sesuatu yang ringan, sekaligus mengingatkan kita untuk menghargai orang-orang di sekitar kita dan berbuat baik sebelum semuanya terlambat.
**Kata Kunci:** Review Film Tak Ingin Usai di Sini, Bryan Domani, Vanessa Prescilla, More Than Blue, Film Adaptasi Korea, Ulasan Film Indonesia, Film Romantis Indonesia, Review Film Bioskop
**(Jangan lupa sertakan link ke ebook resep gratis di sini)**