## Menteri Fadli Zon Dinilai Mengaburkan Sejarah Peristiwa Mei 1998 dengan Menyangkal Kekerasan Seksual
Pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang menyebut kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 sebagai “rumor” dan “tidak ada bukti” telah menuai kecaman keras dari berbagai kalangan, khususnya aktivis perempuan dan pegiat HAM. Pernyataan tersebut dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan melanggengkan budaya penyangkalan atas salah satu kejahatan kemanusiaan paling gelap dalam sejarah Indonesia.
Dalam sebuah wawancara di kanal YouTube IDN Times, Fadli Zon dengan tegas menyatakan ketidakpercayaan terhadap adanya pemerkosaan massal terhadap perempuan, khususnya perempuan keturunan Tionghoa, selama kerusuhan tersebut. Ia bahkan menantang untuk menunjukkan bukti-bukti yang mendukung klaim tersebut, dengan menyatakan bahwa informasi tersebut tidak tercatat dalam buku sejarah dan hanya berupa rumor belaka. Pernyataan ini disampaikannya dengan kalimat, “Ada pemerkosaan massal? Betul enggak, ada pemerkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” menunjukkan penyangkalan yang tegas dan tanpa nuansa keraguan. Ia menambahkan, “Rumor-rumor seperti itu, menurut saya tidak akan menyelesaikan persoalan.”
Sikap ini langsung dibantah oleh sejumlah aktivis perempuan yang telah bertahun-tahun mendampingi korban kekerasan seksual Tragedi Mei 1998. Ita Fatia Nadia, salah satu aktivis tersebut, secara tegas menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai “penyimpangan fakta sejarah” yang tak dapat dibenarkan. Ia menekankan bahwa peristiwa tersebut telah terdokumentasi dengan baik, termasuk dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, yang secara jelas mencatat adanya pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa di sejumlah kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Solo. Buku tersebut, pada halaman 609, secara detail menggambarkan kejadian tersebut sebagai bagian integral dari peristiwa politik bulan Mei 1998.
Senada dengan Ita Fatia Nadia, aktivis perempuan dan HAM, Kamala Chandrakirana, menilai pernyataan Fadli Zon sebagai bukti nyata “budaya penyangkalan” (denial culture) yang telah berurat akar di Indonesia selama hampir tiga dekade. Ia merujuk pada laporan Pelapor Khusus PBB, Radhika Coomaraswamy, yang juga menemukan adanya budaya penyangkalan yang menghalangi pengungkapan kebenaran dan penegakan hukum atas kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998. Radhika, dalam laporannya, mencatat minimnya laporan kekerasan seksual bukan karena peristiwa tersebut tidak terjadi, melainkan karena rendahnya kepercayaan korban terhadap sistem peradilan yang tidak berpihak pada mereka. Kamala menekankan bahwa pernyataan Fadli Zon bukan hanya mengabaikan fakta sejarah, tetapi juga menghambat upaya penyelesaian dan pemulihan trauma korban.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, yang beranggotakan berbagai organisasi masyarakat sipil dan individu, turut mengecam keras pernyataan Menteri Fadli Zon. Mereka menganggap pernyataan tersebut sebagai manipulasi sejarah, pengaburan fakta, dan pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang menghancurkan begitu banyak nyawa dan meninggalkan luka mendalam bagi para korban, khususnya perempuan.
Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tahun 1998, yang dibentuk pemerintah sendiri, telah memberikan kesaksian dan bukti yang cukup kuat mengenai kekerasan seksual sistematis terhadap perempuan Tionghoa. Meskipun Fadli Zon mengklaim telah membantah laporan tersebut dan menyatakan ketidakmampuan TGPF dalam membuktikan klaim mereka, fakta-fakta yang ditemukan TGPF, seperti metode pemerkosaan berkelompok (gang rape) yang dilakukan di depan umum, dan mayoritas korban berasal dari etnis Tionghoa, namun tetap menunjukkan pola kejahatan yang terstruktur dan sistematis. TGPF juga mencatat berbagai kasus yang terjadi sebelum dan sesudah kerusuhan Mei, menunjukkan kekerasan seksual sebagai bagian dari rangkaian peristiwa yang jauh lebih luas.
Ironisnya, pernyataan kontroversial Fadli Zon ini muncul di tengah proyek penulisan ulang sejarah nasional yang sedang digarap oleh Kementerian Kebudayaan, yang ditargetkan rampung pada Agustus 2025. Draf Kerangka Konsep Penulisan “Sejarah Indonesia” yang bocor kepada BBC News Indonesia bahkan menunjukkan beberapa pelanggaran HAM berat, termasuk kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998, tidak dimasukkan dalam proyek ini. Hal ini semakin memperkuat kekhawatiran akan upaya sistematis untuk menghilangkan narasi penting tentang pelanggaran HAM berat dari ingatan kolektif bangsa.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyawati Irianto, mengatakan bahwa penyangkalan Fadli Zon merupakan bagian dari upaya penyesatan identitas bangsa. Indonesia, menurutnya, seharusnya belajar dari negara-negara lain seperti Jerman dan Jepang, yang secara terbuka mengakui dan memperingati kejahatan kemanusiaan masa lalu sebagai langkah penting untuk mencegah terulangnya tragedi serupa.
Ita Fatia Nadia menambahkan bahwa pernyataan Fadli Zon juga menyangkal sejarah pembentukan Komnas Perempuan. Ia mengingat pertemuan dengan Presiden BJ Habibie pada Oktober 1998, di mana Presiden Habibie mengakui adanya pemerkosaan massal dan menyetujui pembentukan Komnas Perempuan sebagai respon atas tragedi tersebut.
Kesimpulannya, pernyataan Fadli Zon bukan hanya sebuah kesalahan interpretasi sejarah, tetapi juga merupakan tindakan yang berpotensi merugikan upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Pengabaian dan penyangkalan terhadap kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 tidak hanya melukai para korban dan keluarga mereka, tetapi juga menghambat proses rekonsiliasi dan pemulihan nasional. Peristiwa ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia untuk menghormati kebenaran sejarah dan memastikan bahwa kejahatan kemanusiaan serupa tidak akan pernah terulang kembali.